SUNGGUMINASA — Polemik penimbunan Danau Mawang di Kabupaten Gowa terus menuai sorotan tajam. Aktivitas yang diduga kuat melibatkan praktik mafia tanah itu memicu keresahan masyarakat dan kekhawatiran akan kerusakan lingkungan di sekitar danau yang selama ini menjadi ikon ekologi Kabupaten Gowa.
Kasus ini mencuat setelah publik menyoroti aktivitas alat berat yang menimbun area perairan Danau Mawang.
Aparat dari Polres Gowa pun turun tangan, memasang garis polisi (police line) dan mengamankan operator alat berat di lokasi.
Namun, dalang utama dari aktivitas tersebut sempat dikabarkan melarikan diri.
Aktivis HMI, Hidayat, menjadi salah satu pihak yang angkat suara mengecam keras tindakan itu. Ia menilai, penimbunan di kawasan danau merupakan bentuk keserakahan yang tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak keseimbangan lingkungan.
“Ini bukan hanya persoalan tanah, tapi soal tanggung jawab ekologis. Semua pihak, terutama aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, harus bertindak tegas. Kejar sampai dapat pelakunya,” tegas Hidayat kepada oborBangsa, Senin (13/10/2025).
Namun, di tengah derasnya kritik publik, pihak yang disebut-sebut sebagai penimbun lahan, Hernest, akhirnya buka suara. Kepada oborBangsa, Selasa (14/10/2025), Hernest menegaskan bahwa lahan yang ditimbunnya memiliki dasar hukum yang sah.
“Saya juga tidak berani melakukan penimbunan kalau tidak punya legalitas. Lahan itu saya beli secara resmi dari seseorang berinisial SP beberapa tahun lalu, dan sudah bersertifikat,” ujarnya.
Hernest, yang dikenal sebagai advokat dan pengusaha, menjelaskan bahwa sebagian lahan yang dibelinya kini tergenang akibat luapan air Danau Mawang.
Ia berdalih bahwa penimbunan dilakukan untuk mengembalikan batas tanah sesuai sertifikat kepemilikan.
“Karena luapan air danau, batas-batas tanah saya tergenang. Jadi penimbunan itu saya lakukan agar batas tanah saya kembali sesuai sertifikat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hernest mengungkapkan rencananya setelah penimbunan rampung, yakni mengembangkan lahan tersebut menjadi area usaha berbasis wisata.
“Kalau diizinkan Pemda Gowa, saya ingin menjadikannya resor yang bisa mendukung pariwisata di kawasan itu,” tutupnya.
Meski demikian, sejumlah pihak menilai alasan tersebut belum cukup kuat untuk menjustifikasi aktivitas di kawasan yang diduga termasuk dalam zona lindung danau.
Aktivis lingkungan dan akademisi pun mendesak agar pemerintah daerah segera melakukan kajian tata ruang dan audit lahan untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran hukum maupun kerusakan ekologi lebih lanjut.
Kasus ini kini menjadi ujian bagi penegak hukum dan Pemkab Gowa dalam menyeimbangkan aspek legalitas kepemilikan lahan dan perlindungan lingkungan hidup, agar tidak terjadi preseden buruk dalam pengelolaan kawasan danau di masa depan.
Laporan : Pen