Makassar— Kasus dugaan korupsi proyek rehabilitasi daerah irigasi Apareng, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, kembali menjadi sorotan tajam publik. Setelah melalui proses panjang penyidikan dan persidangan, tiga orang telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi vonis tiga tahun penjara oleh majelis hakim.
Namun, beredar kabar bahwa salah satu terpidana, Hartawan Jarre (HID) selaku Direktur Utama PT Putra Utama Global, hingga kini diduga belum berada di dalam tahanan Rutan Kelas I Makassar.
Kasus ini bermula pada tahun 2020 ketika Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Selatan menganggarkan proyek rehabilitasi irigasi Apareng senilai Rp7,5 miliar dari APBD Provinsi Sulsel.
Dalam pelaksanaannya, HID yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT PUG ditetapkan sebagai pelaksana proyek setelah perusahaan yang dipimpinnya memenangkan tender.
Namun, sejak bulan pertama dan kedua pelaksanaan proyek, penyidik menemukan adanya deviasi yang signifikan dari rencana kerja dan penggunaan anggaran.
Setelah dilakukan audit oleh Inspektorat Daerah Kabupaten Sinjai, ditemukan kerugian negara mencapai Rp1,78 miliar lebih.
Temuan ini menjadi dasar kuat bagi Kejaksaan Negeri (Kejari) Sinjai untuk menetapkan tiga tersangka, yakni AA selaku PPK/KPA, MR selaku konsultan pengawas, dan HID selaku Direktur Utama PT PUG.
Penetapan HID sebagai tersangka dituangkan dalam Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejari Sinjai Nomor: B-1910/P.4.31/Fd.1/11/2024 tanggal 25 November 2024.
Kejari Sinjai kemudian melakukan penahanan terhadap HID pada Rabu malam, 5 Februari 2025, sekitar pukul 21.30 WITA, usai menjalani pemeriksaan selama lima jam oleh tim penyidik Pidana Khusus (Pidsus) yang dipimpin oleh Kasi Pidsus, Kapsul Zen Tommy Aprianto.
Penahanan ini dilakukan dengan pertimbangan agar tersangka tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan tidak mengulangi perbuatannya. Dua terdakwa lainnya lebih dulu ditahan di Rutan Kelas IIB Sinjai pada 30 Januari 2025.
Ketiganya kemudian dipindahkan ke Rutan Kelas I Makassar menjelang bulan Ramadan tahun 2025 untuk menjalani proses peradilan dan masa tahanan lebih lanjut.
Namun, berdasarkan informasi yang beredar di masyarakat, saat pelimpahan dilakukan, HID disebut meminta izin dengan alasan sakit dan tidak ikut bersama dua tersangka lainnya masuk ke Rutan Makassar.
Hingga usai Lebaran 2025, HID dilaporkan masih berada di luar tahanan dengan alasan yang sama — sakit dan menjalani perawatan, namun tanpa kejelasan kapan akan kembali menjalankan hukumannya.
Sementara itu, dua terdakwa lainnya, AA dan MR, telah dieksekusi dan kini menjalani masa tahanan sesuai vonis tiga tahun penjara di Lapas Kelas I Makassar.
Kondisi berbeda justru terjadi pada HID yang dikabarkan belum pernah kembali ke rutan sejak izin sakit diberikan.
Publik pun mempertanyakan transparansi penegakan hukum dalam kasus ini. Sejumlah aktivis antikorupsi dan tokoh masyarakat Sinjai mendesak Kejari Sinjai untuk memberikan klarifikasi terbuka mengenai status eksekusi HID, termasuk bukti administrasi dan surat keterangan medis yang menjadi dasar penundaan masa tahanan.
“Kalau benar alasan sakit menjadi dasar, seharusnya ada bukti medis resmi dan pengawasan ketat dari kejaksaan. Jangan sampai hukum terlihat tajam ke bawah, tumpul ke atas,” ujar salah satu aktivis antikorupsi.
Kasi Intel kejaksaan sinjai Jhadi Wijaya saat dikonfirmasi mengatakan
“berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan negri makassar, maka kewenangan ada pada hakim makassar yang menangani, kami disinjai terus berbenah menegakan hukum, kami juga sudah diprapradilankan oleh terdakawa Hartawan dan kami menang”, tambahnya.
Hartawan sebagai terpidana 3 tahun penjara menjelaskan lewat whatsapp ” Status saya sebagai tahanan kota, saya mengajukan banding sehingga status saya kembali sebagai tersangka”
Kasus ini menjadi cermin serius bagi penegakan hukum di daerah. Publik berharap Kejari Sinjai tetap berkomitmen pada asas transparansi dan keadilan, serta memastikan semua terpidana, termasuk HID, benar-benar menjalani hukuman sebagaimana putusan pengadilan.
Karena hukum, seharusnya tidak berhenti pada vonis tetapi juga pada kepastian pelaksanaan hukuman tanpa pandang bulu. (obor-makassar)


