Dalam sejarah politik lokal, pertarungan seringkali menyisakan luka. Kompetisi dipahami sebagai medan saling meniadakan, bukan ruang saling memperkaya gagasan.
Namun, Gowa hari ini mendapat pelajaran berharga. Bupati terpilih, Husniah Talenrang, memilih langkah yang jarang diambil merangkul rivalnya, Hj. Irmawati Haerudin, bukan sekadar dalam bingkai seremoni politik, tetapi juga dalam ruang yang lebih intim, menjadi teman curhat, sahabat dialog, dan mitra kebaikan.
Tindakan ini bukan sekadar simbol rekonsiliasi, ia adalah pernyataan politik yang menembus batas pragmatisme.
Bahwa demokrasi tidak hanya berhenti di kotak suara, melainkan menemukan bentuk tertingginya dalam kebersamaan membangun daerah. Politik yang semula terasa keras kini meleleh menjadi hangat, membentuk ekosistem kolaboratif yang lebih sehat.
Gowa membutuhkan itu. Kita menyadari betul, tantangan ke depan tidak ringan mulai dari menekan angka kemiskinan, memperluas lapangan kerja, merawat stabilitas sosial, serta mengelola potensi generasi muda yang semakin kritis.
Semua itu tidak bisa diselesaikan dengan ego sektoral atau politik balas dendam. Dibutuhkan keberanian moral untuk mengakui bahwa lawan politik bisa juga menjadi partner strategis.
Kebesaran jiwa Husniah Talenrang dan sikap dewasa Hj. Irmawati menghadirkan teladan: bahwa kekuasaan sejati bukan pada kemampuan mengalahkan, tetapi pada keberanian mengajak bersama. Gowa, dengan segala potensi dan sejarahnya, pantas dipimpin oleh jiwa-jiwa yang memilih jalan merajut, bukan merobek.
Kita, masyarakat Gowa, tentu boleh berharap lebih. Bahwa pertemanan politik ini tidak hanya berhenti pada gambar mesra di media sosial, melainkan menjelma dalam kebijakan yang inklusif, program pembangunan yang partisipatif, dan ruang-ruang publik yang semakin memberi tempat bagi suara rakyat.
Inilah wajah baru demokrasi, kompetisi yang berujung kolaborasi, rivalitas yang berakhir persahabatan. Dari Gowa, kita belajar, politik bisa tetap keras dalam visi, namun lembut dalam hati.
Penulis : Sultan