Di ruang tamu seorang aktivis, buku-buku berdiri bak kesatria yang menunggu perintah, halaman-halamannya berbisik, “Jangan takut, kita hanya pikiran.”
Namun, tangan-tangan hukum datang serius, resmi, dengan perintah yang berkilau, menyita mereka seolah kata-kata itu adalah penjahat.
Dari perspektif hukum pidana, penyitaan barang bukti harus memiliki alasan yang jelas relevansinya dengan dugaan tindak pidana, prosedur yang sah, proporsionalitas.
KUHAP dalam Pasal 38 dan 39 menegaskan bahwa barang bukti hanya boleh disita jika berkaitan langsung dengan tindak pidana, dan asas legalitas serta proporsionalitas menuntut agar tindakan itu tidak sewenang-wenang. Coba dikaji melalui asas nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege!
Namun, ketika buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer atau Franz Magnis Suseno masuk daftar barang bukti tanpa dasar yang jelas, kita dihadapkan pada paradoks: apakah pikiran dapat dipenjara?
Bukankah asas hukum yang fundamental menyatakan bahwa manusia tidak bisa dipidana hanya karena berpikir?
Satire ini muncul dari absurditas prosedur, penyitaan formal dilakukan, materilnya kabur. Bukti digunakan sebagai alasan, tapi bukti itu sendiri. Bagaimana pembuktian formil dan materilnya?
Apakah buku itu menimbulkan kerusuhan atau menyulut kebencian? Masa iya?
Buku-buku itu hanya mengalirkan pikiran, menantang jiwa, dan mengajarkan refleksi. Apakah penulisnya harus dihadirkan dalam persidangan? Hanya jika dunia ini bersedia memidana imajinasi.
Buku adalah karya intelektual yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Pemilik buku atau penulis tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas isi buku selama tidak digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana. Penyitaan buku tanpa pelanggaran hak cipta yang jelas menjadi tindakan sewenang-wenang, yang melampaui kewenangan formal penegak hukum.
Di tengah semua itu, romansa antara manusia dan kata tetap tak tergoyahkan. Setiap halaman adalah pelukan rahasia, setiap kalimat adalah ciuman kebebasan. Aparat bisa menahan buku, tapi tak bisa menahan pikiran yang telah jatuh cinta pada kebenaran dan refleksi.
Refleksi hukum menuntun kita pada kesadaran bahwa penyitaan ini bukan sekadar soal bukti, tetapi soal kekuasaan yang terselubung, ‘semakin direformasi, semakin menjadi-jadi’.
Kartu Merah ini bukan hanya simbol protes, tapi pengingat bahwa reformasi tanpa akuntabilitas menghasilkan abuse of power yang mengoyak prinsip keadilan.
Hukum harus tetap rasional, objektif, dan manusiawi. Buku, kata, dan pikiran adalah harta intelektual yang tidak boleh diseret ke pengadilan sebagai alat intimidasi.
Hukum yang sejati tidak mempidanakan cinta pada pengetahuan, tidak menjerat pikiran, dan tidak membiarkan kekuasaan menjadi absolut.
Hukum pada prinsipnya hadir untuk menjaga kedamaian ditengah masyarakat. Selaras dengan hal tersebut, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo dari jauh-jauh hari telah menegaskan, bahwa “hukum hadir untuk manusia”.
Oleh karenanya segala bentuk tindakan yang mengurangi, mengkerdilkan nilai-nilai kemanusiaan, tentunya itu tidak patut diapresiasi.
Dalam kasus penyitaan buku ini, hukum harus kembali kepada tujuan fundamentalnya, menjadi pelindung pikiran, kebebasan, dan cinta pada pengetahuan.
Daftar panjang peristiwa gelap ini mesti diintrupsi, agar tidak menjadi normalisasi perampasan nilai yang jatuh pada kesimpulan misuse of authority.
Makassar, 21 September 2025
Penulis : Iwan Mazkrib
(Seniman Hukum)
Fungsionaris Badko HMI Sulsel