Oleh Tim Redaksi OborNews
JAKARTA –Di saat para pemimpin dunia berkumpul di bawah sorotan panggung global KTT G7 di Italia, sosok yang ditunggu-tunggu dari Asia Tenggara justru tak terlihat.
Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, memilih arah yang berbeda; bukan Roma atau Milan, melainkan Moskow.
Langkah ini mengundang beragam tafsir. Apalagi, menurut informasi yang beredar, Prabowo sebelumnya telah menerima undangan resmi dari Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, untuk hadir dalam forum elite tersebut.
Namun yang terjadi justru sebaliknya ia melangkah ke jantung kekuasaan Rusia, bertemu langsung dengan Presiden Vladimir Putin, yang hingga kini masih berada dalam isolasi politik oleh blok Barat pascainvasi Ukraina.
Di tengah kebingungan banyak pengamat, media-media China justru membaca arah langkah itu dengan penuh perhatian.
Laporan dari Global Times hingga CGTN memotret pilihan Prabowo sebagai cerminan dari pendekatan luar negeri Indonesia yang tetap teguh pada prinsip non-blok, bahkan dalam konteks dunia multipolar yang kini semakin bising dengan tekanan geopolitik.
“Ini bukan sekadar kunjungan biasa,” tulis sebuah editorial di Global Times.
Dan seperti jembatan, langkah Prabowo berdiri di antara dua dunia yang saling bersaing; satu adalah komunitas G7 yang mewakili kekuatan ekonomi tradisional, dan satu lagi adalah blok Eurasia yang dipimpin oleh negara-negara seperti Rusia dan China yang menawarkan tatanan alternatif.
Mereka yang memuji kunjungan ini melihatnya sebagai bentuk keberanian politik luar negeri Indonesia menghidupkan kembali semangat Konferensi Asia Afrika, Non-Aligned Movement, dan independensi diplomatik yang diwarisi dari Soekarno hingga era Jokowi.
Namun tentu saja, tidak semua pihak sependapat. Beberapa pengamat Barat dan analis kebijakan luar negeri mempertanyakan alasan di balik absennya Prabowo dari forum G7.
Pasalnya, G7 bukan hanya forum ekonomi, tapi juga panggung penting bagi negara-negara demokrasi untuk membangun jejaring strategis—termasuk dalam konteks Indo-Pasifik yang kian strategis.
Lalu, apa sebenarnya alasan Prabowo lebih memilih Moskow?
Hingga kini belum ada pernyataan resmi dari tim transisi atau Istana. Namun sejumlah sumber diplomatik menyebut bahwa kunjungan ke Rusia telah lama dijadwalkan sebagai bagian dari upaya mempererat kerja sama bilateral terutama di bidang pertahanan dan ketahanan energi.
Di dalam negeri, keputusan ini juga menimbulkan perdebatan. Ada yang menilai Prabowo tengah menunjukkan posisi politik yang tegas dan mandiri, namun ada pula yang khawatir Indonesia akan dinilai terlalu dekat dengan kubu tertentu dalam konflik global yang tengah berlangsung.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, setiap langkah pemimpin dunia tak lagi hanya soal agenda bilateral.
Ia menjadi pesan, simbol, dan terkadang sinyal pergeseran poros kekuatan.
Apakah ini awal dari pergeseran diplomasi Indonesia ke arah Timur? Atau hanya manuver taktis menjelang pelantikan resmi Oktober mendatang?
Yang jelas, dalam kunjungan ke Moskow ini, Prabowo tak hanya bertemu Putin.
Ia juga mempertemukan dua narasi besar yang sedang berebut ruang di panggung dunia: demokrasi global yang rapuh dan realpolitik yang tak lagi hitam putih.
Editor : Pen


