JAKARTA – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) kembali mengingatkan pemerintah akan ancaman serius dari praktik operasional Online Travel Agent (OTA) asing yang dinilai memanfaatkan celah hukum di Indonesia.
PHRI menilai, jika tidak segera diatur dengan tegas, kehadiran OTA asing tanpa badan hukum tetap di Indonesia akan terus merugikan pelaku usaha domestik, konsumen, bahkan negara.
OTA sendiri merupakan platform digital yang menyediakan layanan pemesanan akomodasi, tiket perjalanan, dan jasa wisata lainnya secara daring.
Beberapa di antaranya adalah perusahaan asing yang beroperasi lintas negara tanpa kantor fisik di Indonesia, namun tetap mengambil keuntungan dari pasar dalam negeri.
Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, menegaskan bahwa sebagian OTA asing tidak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE) karena tidak membentuk Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
Dengan begitu, mereka tetap bebas beroperasi tanpa kewajiban perpajakan dan tanpa tunduk pada regulasi nasional.
“Ini bukan hanya masalah legalitas, tapi soal kedaulatan ekonomi. Negara kehilangan potensi pajak, pekerja lokal kehilangan peluang kerja, dan pelaku usaha domestik jadi korban praktik persaingan tidak sehat,” tegas Maulana dalam siaran pers yang diterima OborNews, Rabu (18/6/2025) malam.
Ia menyayangkan pemerintah belum menindak tegas praktik ini, meskipun sesuai dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, setiap perusahaan asing yang beroperasi lebih dari 183 hari wajib mendirikan BUT di Indonesia. Sayangnya, pengawasan terhadap pelaksanaan aturan ini dinilai sangat lemah.
Kemenpar Dinilai Lalai, Fokus Hanya pada Promosi
Maulana juga mengkritik sikap Kementerian Pariwisata yang dinilai kurang responsif. Menurutnya, sejak 2016 PHRI telah menyuarakan masalah ini di berbagai forum, namun belum ada langkah konkret.
Ia menambahkan, peraturan seperti Permendag Nomor 31 Tahun 2023 perlu direvisi agar mampu menjangkau aktivitas digital secara menyeluruh, termasuk tanggung jawab terhadap perlindungan konsumen dan aturan perpajakan.
“Kita sudah punya sistem OSS, KBLI, semua lengkap di atas kertas. Tapi praktiknya yang tertib malah ditekan, yang liar dibiarkan,” tambahnya.
Akomodasi Ilegal Marak, Pengawasan Lemah
PHRI juga menyoroti maraknya akomodasi ilegal yang dijual bebas di berbagai platform digital tanpa izin usaha resmi.
Tak hanya merusak ekosistem industri perhotelan, tapi juga merugikan daerah karena tidak menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak pariwisata.
“Kalau ini terus dibiarkan, bukan hanya industri kita yang mati pelan-pelan, tapi juga masyarakat dirugikan. Lapangan kerja menyusut, sementara perusahaan asing terus ambil untung tanpa kontribusi nyata,” ucap Maulana.
Butuh Lembaga Independen, Bukan Sekadar Seremonial
Lebih jauh, Maulana menilai pengelolaan pariwisata nasional masih bersifat jangka pendek dan cenderung politis.
Ia mendorong pemerintah membentuk lembaga independen seperti tourism board agar kebijakan sektor pariwisata tidak terus berganti setiap kali terjadi pergantian menteri.
Pemerintah Masih Fokus pada Pembinaan
Sementara itu, Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag, Moga Simatupang, menyatakan bahwa pihaknya akan terus mendorong pembinaan terhadap pelaku usaha digital termasuk OTA.
Ia menekankan bahwa pelaku usaha wajib mendaftarkan diri sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) agar dapat diawasi secara resmi.
Laporan: Chris
Editor: OborJkt


