Sulsel--Di tanah yang seharusnya subur dengan integritas, di ladang yang mestinya dipenuhi panen kejujuran, sebuah ironi tumbuh liar.
Program bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) yang diniatkan sebagai berkah bagi petani, kini justru menjadi komoditas di tangan para perantara.
Sulawesi Selatan, daerah yang melahirkan sang Mentri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, kini tercoreng oleh praktik yang mencederai harapan.
Mesin-mesin canggih yang seharusnya memacu produktivitas petani, justru berputar di roda transaksi gelap.
Dugaan penjualan alsintan dengan harga selangit bukan lagi sekadar bisik-bisik di warung kopi.
Suara sumbang itu kini menggema di lumbung-lumbung desa, di pematang sawah yang merindukan keadilan.
Para petani, yang di atas kertas adalah penerima manfaat, justru menjadi pembeli tak berdaya.
Traktor yang seharusnya hadir sebagai anugerah dari pemerintah, tiba-tiba memiliki mahar.
Harga yang dipatok bukan sekadar angka, melainkan tembok tinggi yang membatasi akses para petani kecil.
Untuk sekadar menggenggam harapan berbentuk traktor roda dua, mereka harus merogoh kocek hingga belasan juta.
Sementara itu, alat yang lebih besar, seperti combine harvester, hanya bisa dimiliki mereka yang berani membayar hingga ratusan juta rupiah.
Siapa dalangnya?
Tangan-tangan tak terlihat itu ternyata bukan sembarang orang.
Ada nama-nama yang pernah duduk di kursi empuk parlemen, ada petinggi partai yang konon memperjuangkan nasib rakyat.
Mereka bukan sekadar perantara, melainkan dalang dalam sandiwara gelap ini.
Bahkan, ada bisikan bahwa sebagian dana dari jual beli alsintan ini mengalir hingga ke meja politik, mendanai ambisi yang jauh dari urusan sawah dan ladang.
Mirisnya, praktik ini justru mencuat di kampung halaman sang Menteri Pertanian sendiri.
Bukankah tanah ini seharusnya menjadi benteng terakhir dari moralitas program?
Bukankah kita seharusnya menjaga nama baik orang yang telah menghadirkan kebijakan ini demi kesejahteraan petani?
Namun, seperti kisah klasik tentang kebaikan yang dikhianati, program ini justru dimanfaatkan oleh mereka yang lihai membaca celah.
Sementara petani harus mengais harapan di antara bongkahan kecurangan, pertanyaan besar pun menggantung di udara,
Apakah hukum akan berdiri tegak menindak para pelaku?
Ataukah ini hanya akan menjadi catatan lain dalam buku panjang tentang pengkhianatan terhadap rakyat?
Di tanah yang harusnya subur dengan kejujuran, semoga masih ada yang berani menanam keadilan.
Sebab, sejarah tak akan pernah lupa siapa yang menanam benih integritas, dan siapa yang memilih merawat kemunafikan.
(Oleh Redaksi OborSulsel)