Di jantung Sulawesi Selatan, Pegunungan Latimojong berdiri kokoh sebagai penyangga ekosistem, penjaga sumber mata air, dan tempat berpijak kearifan adat Luwu.
Ia bukan sekadar gugusan tanah tinggi, tetapi simbol kehidupan.
Namun pada pertengahan Juni 2025, dentuman peledakan tambang emas mengguncang keheningannya. PT Masmindo Dwi Area, pemegang konsesi tambang emas Awak Mas, secara resmi memulai tahap “blasting” (peledakan batuan) yang menandai babak baru aktivitas eksploitasi tambang di kawasan itu.
Ledakan terjadi pada 16–17 Juni 2025. Video yang beredar di media sosial menunjukkan betapa besarnya skala kegiatan tersebut.
Asap membumbung, batuan beterbangan, dan suara ledakan bergema hingga ke desa-desa. Konfirmasi datang dari pihak kepolisian.
Kasi Humas Polres Luwu IPTU Yakobus Rimpung menyatakan bahwa blasting dilakukan oleh tim teknis profesional dari PT Orica Mining Services, dengan standar keamanan dan izin lengkap dari Polres Luwu serta Kementerian ESDM.
Namun apakah izin formal cukup untuk membenarkan peledakan di kawasan yang secara ekologis sensitif dan sarat nilai spiritual?
Ketika Industri Menyapa Adat
Menariknya, sehari sebelum ledakan, PT Masmindo menggelar prosesi adat “Mangngolo Ri Arajang” di Baruga Arung Senga, Kedatuan Luwu.
Prosesi ini dihadiri langsung oleh pemangku adat Kedatuan Luwu dan para tokoh masyarakat, sebagai bentuk permohonan restu atas dimulainya kegiatan penambangan. Dalam budaya Luwu, langkah ini penting, karena setiap kegiatan besar yang menyentuh tanah, air, dan gunung mesti mendapat restu dari leluhur.
Namun di balik penghormatan terhadap simbol adat, terselip tanya yang dalam: apakah semangat spiritual itu cukup untuk menggantikan kehancuran ekologis yang potensial akan datang?
Pegunungan Latimojong adalah kawasan rawan longsor, kawasan tangkapan air yang vital bagi DAS Walanae dan Saddang, serta rumah bagi flora dan fauna endemik. Dalam sejarah bencana alam di Luwu Raya, banyak kejadian longsor dan banjir bandang berakar dari kerusakan hulu.
Maka ketika perut gunung mulai diledakkan demi emas, yang terguncang bukan hanya tanah, tetapi seluruh keselarasan hidup di bawahnya.
Antara Emas dan Ekosistem
PT Masmindo menjelaskan bahwa seluruh kegiatan dilakukan sesuai dengan regulasi, studi AMDAL, dan prinsip pertambangan berkelanjutan.
Mereka menjanjikan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi lokal, dan dukungan terhadap infrastruktur desa-desa sekitar tambang.
Komitmen ini terdengar menjanjikan, namun banyak pihak mulai menuntut transparansi dan evaluasi lebih dalam.
Aliansi masyarakat sipil, seperti Ikatan Pelajar Mahasiswa Luwu (IPMIL) serta aktivis lingkungan, telah menyuarakan keresahan.
Mereka menilai pemerintah daerah dan pusat terlalu mudah memberi karpet merah bagi korporasi tambang, tanpa mempertimbangkan risiko jangka panjang terhadap keberlanjutan tanah Luwu.
-Latimojong: Nafas yang Terancam
Selama berabad-abad, masyarakat Luwu hidup berdampingan dengan alam Latimojong. Hutan, sungai, dan tanah menjadi sumber kehidupan sekaligus bagian dari narasi budaya. Latimojong menjadi bagian dari identitas orang Luwu.
Ia nafas yang tidak bisa digantikan oleh uang atau logam mulia.
Kini, dentuman ledakan dari perut gunung menjadi simbol sebuah persimpangan jalan. Antara modernitas dan kelestarian. Antara investasi dan warisan alam. Antara keuntungan jangka pendek dan bencana jangka panjang.
Ledakan pertama sudah terjadi. Emas mulai ditambang. Tapi sejarah akan mengingat bukan hanya siapa yang mengambil emas, melainkan siapa yang diam saat bumi mulai dilukai.
Apa yang terjadi di Latimojong bukan sekadar persoalan tambang. Ini adalah refleksi dari arah pembangunan kita.
Apakah pembangunan hanya soal menambah nilai ekonomi, ataukah tentang menjaga kesinambungan hidup antara manusia dan alam?
Sebab jika Latimojong rusak, bukan hanya Luwu yang rugi – tapi Sulawesi, bahkan Indonesia, kehilangan salah satu paru-parunya.
Jika tanah Celebes punya nafas, maka Latimojong adalah detaknya. Dan detak itu kini mulai terputus satu demi satu oleh dentuman tambang.
Muhammad Yasin (Penulis)